Thursday, November 28, 2019

Tetesan Air ; Jas Hitam

Hujan.

Beberapa orang membenci hujan karena itu merupakan salah satu hal yang bisa mengganggu aktifitas mereka.

Namun, satu hal yang aku tahu, hujan itu merupakan satu hal yang menarik dihidupku.

Kenapa?

Karena aku bertemu, dan mengenalmu saat hujan turun.


• edisi hujan part 01 •


Butiran - butiran itu terus jatuh, membasahi setiap hal yang disentuhnya. Daun, jalanan, benda, atap gedung, bahkan beberapa orang yang kini berlari, berusaha mencapai tempat berteduh lebih cepat agar mereka tidak semakin basah.

Dan saat ini, aku tengah berdiri diantara orang-orang yang berlindung dari derasnya hujan. Keadaan mereka tidak jauh berbeda dariku, pakaian yang semakin melekat erat di badan, serta rambut yang berantakan membuat penampilan kami terlihat seperti orang yang baru saja melalui hal buruk.

Yah, karena hari ini aku mengalami hal yang tidak menyenangkan, jadi kurasa memang cocok jika aku mengatakan hal itu. Entah kenapa, hari ini atasanku memutuskan untuk memberi banyak pekerjaan padaku. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan hal itu, namun ia terus saja mengkritik pekerjaanku dan membuatku harus kembali mengerjakan ulang sampai ia puas hingga membuatku kesal setengah mati. Tidak cukup sampai disitu, office boy yang baru saja masuk hari ini, tidak sengaja menumpahkan kopi panas ke atas rok favoritku yang berwarna abu-abu. Seolah belum cukup kesialan yang aku alami, hujan turun disaat aku tengah berjalan menuju halte.

Dan aku baru ingat kalau aku tidak membawa payung.

Kini aku berdiri di bawah halte bis, dengan rok yang berhias bercak coklat tua, kemeja hitam yang melekat erat di badan, serta rambut yang basah. Tubuhku menggigil karena udara yang dingin ditambah keadaanku yang hampir basah kuyup karena aku tidak membawa payung. Aku menggosokkan kedua tanganku, sesekali menempelkannya pada pipiku yang terasa sangat dingin.

Perasaan iri merayap dalam diriku saat melihat beberapa orang yang memasuki mobil yang menjemput mereka. Kini hanya aku, dua remaja perempuan, serta satu pria yang sejak tadi duduk dengan menundukkan kepalanya.

Angin yang berhembus kencang membuatku semakin erat memeluk badanku karena rasa dingin yang semakin bertambah.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang berat dipundakku. Jas hitam yang mengeluarkan bau harum coklat tersampir pada bahuku. Ukuran jas itu cukup besar--ah, tidak. Jas ini benar-benar besar karena jas ini hampir mencapai lututku.

Tersadar, aku segera menoleh dan tatapanku bertemu dengan tatapan tajam yang anehnya menyiratkan rasa khawatir, membuatku perasaanku yang awalnya panik, menjadi tenang.

Aku mengamati pemilik tatapan tajam itu--yang ternyata adalah pria yang sejak tadi duduk dengan kepala tertunduk. Tubuhnya tinggi, benar-benar tinggi karena aku harus mendongak agar bisa bertemu dengan tatapannya yang tajam. Ia mengenakan celana kain hitam serta kemeja putih yang sedikit basah pada bagian leher. Jam tangan melingkar di pergelangan kiri, sedangkan cincin perak terpasang pada jari tengah di tangan kanan. Aku mengeryit saat melihat sepatunya yang ternyata converse hitam dengan sol berwarna putih.

“Ekhm.”

Aku tersentak, kembali menatap pemilik jas hitam. Ia menatapku dengan kedua alis terangkat, dan aku merasa sangat malu karena secara tidak sadar telah mengamati penampilannya secara terang-terangan.

“A-ah. M-maaf saya sudah mengamatimu--ah! Tidak! Maksudku--” Sial! Kenapa aku jadi gugup begini?!

Pria itu terkekeh, membuatku semakin yakin kalau wajahku sudah semerah tomat saat ini.

“A-anu..”

“Oh, maafkan saya. Ehm, begini, maaf saya sudah berlaku tidak sopan, tapi anda terlihat sangat kedinginan tadi, jadi....” pria itu tidak meneruskan perkataannya, ia hanya menatapku dengan tatapan menilai.

Apa dia menunggu responku?

“Ah... Tapi--”

Pria itu menggelengkan kepalanya, menatapku dengan senyuman kecil yang membuat wajahnya terlihat semakin tampan.

“Anda lebih membutuhkan itu daripada saya.”

“Terima kasih,” gumamku, kembali mendapatkan senyuman kecil dari pria baik hati itu.

Aku merapatkan jas itu, merasakan kehangatan yang perlahan melingkupi tubuhku.

Keheningan kembali menguasai halte ini, hanya suara kendaraan yang terdengar. Hening yang memberikan rasa nyaman untukku--dan mungkin untuk pria baik hati itu juga.

Aku terus berdiri, menatap langit yang perlahan mengurangi volume air yang jatuh, hingga kini hanya tetesan-tetesan kecil yang turun. Tak lama kemudian, bis yang kutunggu mulai terlihat mendekat ke halte tempat aku berdiri saat ini.

Aku menoleh, sedikit terkejut mendapati pria tadi tengah menatapku. Aku segera mengulas senyum, “Itu bis saya sudah datang. Ini jas--”

Pergerakan tanganku yang hendak melepas jas miliknya terhenti saat aku merasakan sesuatu menggenggam pergelanganku dengan lembut. “Dingin di dalam sana, jangan dilepas.”

“Tapi--”

“Lebih baik anda naik sekarang, saya juga sudah dijemput.” Pria itu mengarahkan tatapannya pada mobil sedan hitam yang terparkir tepat di belakang bis yang aku tunggu sejak tadi.

“Tapi saya--”

“Kita pasti akan bertemu lagi. Jadi, sampai saat itu datang, anda simpan jas ini. Oke?”
Belum sempat aku membalas ucapannya, pria itu pergi, masuk ke dalam sedan hitam yang segera melaju setelah pria itu menutup pintu.

“Oh... Aku lupa menanyakan namanya....”

Apa... kita benar-benar akan bertemu lagi?

Saturday, October 26, 2019

Musibah di Villa Netaneel


Malam itu, gue nggak nyangka sama sekali kalau masa-masa liburan yang sangat gue dan sobat-sobat gue nantikan, malah membawa kesialan buat kami.

“Dek, gimana? Udah nggak ada yang kelupaan?”

Gue nganggukin kepala, menjawab pertanyaan kak Dwino. Suasana ruang tamu rumah gue—atau lebih tepatnya rumah ortu gue?—udah macem kapal pecah. Beberapa koper dan tas besar tergeletak dimana-mana, anjing gue pada lari-lari muterin kakak gue yang lagi sibuk nge-cek ulang barang bawaan kami, dan masih banyak lagi hal-hal yang bikin ruang tamu yang sebenarnya lumayan luas jadi terasa sempit.

Oh, gue lupa. Nama gue Annika, dan saat ini gue lagi sibuk ngawasin para kumpulan manusia berjenis kelamin wanita yang lagi berdebat di depan gue.

“Nggak, nggak. Kita udah sepakat buat nggak bawa mobil sama sekali.”

“Tapi—”

Please deh, lo sendiri yang waktu itu nyaranin untuk kemana-mana pakai kendaraan umum aja kan?”

Sobat gue yang selalu gue panggil racun itu terlihat kesal waktu Letty ngungkapin fakta penting itu. “Tapi kak Aya lagi hamil Let! Lo tega nyuruh kak Aya jalan kesana-sini?”

Ah. Gue lupa kalau kakak gue tercinta sekarang lagi hamil anaknya yang pertama. Tapi...

Guys, tolong ya. Ujung-ujungnya juga kita bakal pesan taksi online.”

Nah! Itu yang daritadi pengen gue sampein! Bagus Aurora!

“Ck. Kalau menurut Fiona gimana?”

Tentu aja, semua mata sekarang tertuju sama Fiona—calon istri Benjamin—yang langsung bikin wajahnya merah. Bikin gue teringat sama tomat punya Mama di dapur. Anyway, seperti yang gue prediksi, Fiona langsung noleh ke gue dengan wajah seolah gue menyandera anak anjingnya.

Sepertinya hanya gue, Annika yang keren ini yang bisa menyelesaikan perdebatan tidak penting ini. “Masih lama gak sih? Kalau kalian masih ngeributin soal bawa mobil atau nggak, gue bakal pesan tiket sekarang dan balik ke Jakarta. Kalau lo baca berita tadi pagi, lo pasti tau kalau tim gue lagi ngejar buronan itu ke luar negri. Jadi, kalau kalian masih mau membuang-buang waktu demi hal yang sangat amat tidak penting ini, lebih baik gue balik aja.”

Semua diem, nggak ada yang berani natap mata gue—kecuali kakak gue yang cuma geleng-gelengin kepala. Yeah, gue ngaku kalau gue memanfaatkan tim khusus gue, tapi kalau gue nggak menyadarkan mereka, gue  yakin seratus persen kalau acara liburan ini bakal gagal.

“Udah siap semua? Yuk berangkat. Aku juga harus ngejar pesawat.”

Dan kami semua, langsung aja ngangkutin barang-barang ke mobil van milik Papa.


---


Batu, Netaneel’s Villa
20.00 WIB

“Udah diturunin semua? Nggak ada yang ketinggalan di mobil kan?”

Kakak gue gelenging kepala, dan dia mulai meluk kak Dwino—yang berarti tanda bagi gue untuk segera menyingkir dari pasangan lovey dovey itu. Jujur aja, gue cukup kagum liat interior villa milik Benjamin. Villa ini nggak terlalu besar, dan lokasinya pas banget buat satu keluarga yang pengen menjauh dari hiruk-pikuk kota. Soal keamanannya sih, kayaknya oke. Si Ben-ben itu bilang kalau tiap 2 jam sekali bakal ada satpam yang lewat di depan villa—entah itu satpam beneran atau nggak ya gue nggak tau.

Tapi yang jelas, gue bener-bener pengen mukul kak Dwino gara-gara dia lupa masukin tongkat sakti gue—tongkat baseball punya Arjuno yang diwariskan ke gue. Padahal gue selalu bawa tongkat itu kalau gue pergi ke daerah yang bukan dikuasai anggota tim gue. Intinya, gue tuh selalu berjaga-jaga—

“Lo masih ngambek gara-gara kak Dio?”

“Sempak! Lo bikin gue kaget tau gak?! Muncul itu pake suara kek, jangan diem-diem macem setan gitu!” Iya, gue serius kaget sama kehadiran Letty yang mukanya rada pucat.

Letty cuma senyum ke gue, sebelum akhirnya balik badan. “Lo dicari kak Dio tuh di bawah.”

Gue buru-buru aja ambil handphone plus dompet gue, sebelum nyusul Letty yang udah ngilang duluan ke bawah—iya, gue parno gara-gara tinggal gue sendirian di lantai 2.

“Eh, akhirnya muncul. Kamu darimana aja? Daritadi dipanggil nggak nyaut. Letty sampai pergi ke luar tadi nyariin kamu.”

Ha? “Letty keluar...?”

“Iya. Nah itu anaknya udah balik. Ayo, Dwino mau balik. Keburu pesawatnya ninggalin dia.”

Jantung gue udah berdegup kencang banget. Dan gue rasa muka gue bener-bener nunjukin ekspresi aneh, karena Fiona ngeliat gue dengan tatapan khawatir. “Kamu kenapa? Nggak apa-apa?”

.. Jadi yang tadi manggil gue pas di atas siapa?


--

  
Batu,
22.00 WIB

Setelah kejadian horror itu, gue bener-bener nempel sama racun kesayangan gue. Ogah banget gue kalalu ngalamin lagi hal nyeremin tadi—dan berakibat dengan si racun yang terpaksa ngabulin permintaan gue untuk tidur bareng.

“Lo mandi duluan deh, gue masih mau coba ngehubungin Tian.”

Gue cuma nurut aja, daripada nanti dia batal tidur bareng sama gue.

Setelah gue pakai baju tidur gue, si racun udah menghilang dari kamar gue—tapi gue bisa dengar samar-samar suaranya dia yang lagi telpon Sebastian di luar kamar. Oh, gue juga lupa kalau kudu kabarin cowok satu itu. Gue punya cowok—atau lebih tepatnya tunangan yang sebentar lagi jadi suami gue—yang sifatnya itu mirip sama mantan gue. Dia suka khawatir kalau gue nggak ngabarin dia dalam jangka waktu 3 jam—

Diam. Jangan  bergerak kalau kamu masih mau hidup.”

.. what?

Sekarang, kamu balik badan dan serahkan ponsel serta dompet—”

“Daki, Tian—O.M.G.”

Demi sempak doraemon Ben-ben, gue pengen ngakak liat ekspresi si racun yang macem ikan kehabisan napas.

Jangan bergerak! Kalau kamu berani berteriak, saya akan melukai teman kamu ini!

Goodness. Yang bener aja. Tangan gemetar gini pakai ngancem si racun. Dia belum tau apa ya?

“Maaf, tapi lebih baik anda jatuhkan senjata anda dan segera pergi. Saya bicara seperti ini demi kebaikan kamu sendiri.”

Nah, dengerin tuh kata si racun. Orang paling berpengalaman di bidangnya—korban percobaan gue tuh.

Entah kenapa, tangan yang mencengkram erat lengan gue jadi makin gemetar. Bahkan pisau lipat yang dia tempelin ke leher gue juga ikut gemetar. Apa dia masih amatir ya?

JANGAN BANYAK BICARA! CEPAT TURUTI PERINTAH SAYA!

Gue bosen. Apa gue sudahin aja ya?

“Daki, gue tau apa yang lo pikirin sekarang. Jadi jangan sampai lo—”

Dan gue nggak menunggu si racun menyelesaikan apapun yang pengen dia sampaikan ke gue.


KRAK!


--


RSU Kasa Husada Batu
22.30 WIB

“Sampai kapan lo mau ngeliat gue kayak gitu? Mata lo beneran keluar gue gamau tanggung jawab ya.”

Entah kenapa, setelah gue ngomong gitu intensitas pelototan dari kakak gue—beserta Letty dan Ivena—makin bertambah. Aurora cuma geleng-geleng kepala, sedangkan Fiona menghela napas pelan.

Gue bingung, salah gue dimana coba?

“Lo sadar nggak sih lo baru aja patahin lengan orang, bikin babak belur wajahnya, dan bikin rusuknya ada yang salah posisi?”

Terus salah gue gitu? Kan gue cuma membela diri?

Belum sempat gue membalas si racun—a.k.a Ivena—sosok yang gue kenal dengan baik berjalan cepat ke arah kami. Dan ternyata, para antek-anteknya juga ikut di belakang sosok itu. Gue cepat-cepat berdiri, dan sebelum gue mengeluarkan kata-kata untuk membela diri gue, sosok itu udah meluk gue dengan erat banget—sampai gue sempat sesak napas. Gue hanya bisa diam di pelukannya, sampai dia ngelepasin gue dan beralih natap Ivena dengan tatapan yang serius banget.

“Gimana?”

Ivena cuma natap gue dengan tatapan menuduh. “Parah.”

Sosok itu—yang tidak lain dan tidak bukan adalah soon-to-be suami gue—natap gue dengan tatapan kecewa. “Kamu udah janji kan nggak bakal gitu lagi? Kasihan dia, nggak tahu apa-apa tapi masih kamu perlakukan seperti itu.”

“Kok jadi aku yang salah? Kan aku yang dirugikan disini!”

Secara serempak, semua mata tertuju ke arah gue—bahkan para suster dan dokter yang jaga ikut menatap gue dengan tatapan tidak setuju.

“Sekarang gue tanya ya, apa lo terluka? Ada barang lo yang ilang? Apa lo benar-benar dirugikan dengan semua ini?”

“Ya iyalah! Emang menurut lo siapa lagi yang dirugikan kalau bukan gue?”

“YA ORANG YANG LO / KAMU / ANDA HAJAR LAH!”

... what?