Malam itu, gue nggak nyangka sama sekali kalau masa-masa liburan yang
sangat gue dan sobat-sobat gue nantikan, malah membawa kesialan buat kami.
“Dek, gimana? Udah nggak ada yang kelupaan?”
Gue nganggukin kepala, menjawab pertanyaan kak Dwino.
Suasana ruang tamu rumah gue—atau lebih tepatnya rumah ortu gue?—udah macem
kapal pecah. Beberapa koper dan tas besar tergeletak dimana-mana, anjing gue
pada lari-lari muterin kakak gue yang lagi sibuk nge-cek ulang barang bawaan kami,
dan masih banyak lagi hal-hal yang bikin ruang tamu yang sebenarnya lumayan
luas jadi terasa sempit.
Oh, gue lupa. Nama gue Annika, dan saat ini gue lagi sibuk
ngawasin para kumpulan manusia berjenis kelamin wanita yang lagi berdebat di
depan gue.
“Nggak, nggak. Kita udah sepakat buat nggak bawa mobil sama
sekali.”
“Tapi—”
“Please deh, lo
sendiri yang waktu itu nyaranin untuk kemana-mana pakai kendaraan umum aja
kan?”
Sobat gue yang selalu gue panggil racun itu terlihat kesal waktu Letty ngungkapin fakta penting itu.
“Tapi kak Aya lagi hamil Let! Lo tega nyuruh kak Aya jalan kesana-sini?”
Ah. Gue lupa kalau kakak gue tercinta sekarang lagi hamil
anaknya yang pertama. Tapi...
“Guys, tolong ya.
Ujung-ujungnya juga kita bakal pesan taksi online.”
Nah! Itu yang daritadi pengen gue sampein! Bagus Aurora!
“Ck. Kalau menurut Fiona gimana?”
Tentu aja, semua mata sekarang tertuju sama Fiona—calon
istri Benjamin—yang langsung bikin wajahnya merah. Bikin gue teringat sama
tomat punya Mama di dapur. Anyway,
seperti yang gue prediksi, Fiona langsung noleh ke gue dengan wajah seolah gue menyandera
anak anjingnya.
Sepertinya hanya gue, Annika yang keren ini yang bisa menyelesaikan perdebatan tidak penting ini. “Masih lama gak sih? Kalau kalian masih ngeributin soal bawa
mobil atau nggak, gue bakal pesan tiket sekarang dan balik ke Jakarta. Kalau lo
baca berita tadi pagi, lo pasti tau kalau tim gue lagi ngejar buronan itu ke
luar negri. Jadi, kalau kalian masih mau membuang-buang waktu demi hal yang
sangat amat tidak penting ini, lebih baik gue balik aja.”
Semua diem, nggak ada yang berani natap mata gue—kecuali
kakak gue yang cuma geleng-gelengin kepala. Yeah,
gue ngaku kalau gue memanfaatkan tim khusus gue, tapi kalau gue nggak
menyadarkan mereka, gue yakin seratus
persen kalau acara liburan ini bakal gagal.
“Udah siap semua? Yuk berangkat. Aku juga harus ngejar
pesawat.”
Dan kami semua, langsung aja ngangkutin barang-barang ke
mobil van milik Papa.
---
Batu, Netaneel’s Villa
20.00 WIB
“Udah diturunin semua? Nggak ada yang ketinggalan di mobil
kan?”
Kakak gue gelenging kepala, dan dia mulai meluk kak
Dwino—yang berarti tanda bagi gue untuk segera menyingkir dari pasangan lovey dovey itu. Jujur aja, gue cukup
kagum liat interior villa milik Benjamin. Villa ini nggak terlalu besar, dan
lokasinya pas banget buat satu keluarga yang pengen menjauh dari hiruk-pikuk
kota. Soal keamanannya sih, kayaknya oke. Si Ben-ben itu bilang kalau tiap 2
jam sekali bakal ada satpam yang lewat di depan villa—entah itu satpam beneran
atau nggak ya gue nggak tau.
Tapi yang jelas, gue bener-bener pengen mukul kak Dwino
gara-gara dia lupa masukin tongkat sakti gue—tongkat baseball punya Arjuno yang diwariskan ke gue. Padahal gue selalu
bawa tongkat itu kalau gue pergi ke daerah yang bukan dikuasai anggota tim gue.
Intinya, gue tuh selalu berjaga-jaga—
“Lo masih ngambek gara-gara kak Dio?”
“Sempak! Lo bikin gue kaget tau gak?! Muncul itu pake suara
kek, jangan diem-diem macem setan gitu!” Iya, gue serius kaget sama kehadiran
Letty yang mukanya rada pucat.
Letty cuma senyum ke gue, sebelum akhirnya balik badan. “Lo
dicari kak Dio tuh di bawah.”
Gue buru-buru aja ambil handphone
plus dompet gue, sebelum nyusul Letty yang udah ngilang duluan ke bawah—iya,
gue parno gara-gara tinggal gue sendirian di lantai 2.
“Eh, akhirnya muncul. Kamu darimana aja? Daritadi dipanggil
nggak nyaut. Letty sampai pergi ke luar tadi nyariin kamu.”
Ha? “Letty keluar...?”
“Iya. Nah itu anaknya udah balik. Ayo, Dwino mau balik.
Keburu pesawatnya ninggalin dia.”
Jantung gue udah berdegup kencang banget. Dan gue rasa muka
gue bener-bener nunjukin ekspresi aneh, karena Fiona ngeliat gue dengan tatapan
khawatir. “Kamu kenapa? Nggak apa-apa?”
.. Jadi yang tadi manggil gue pas di atas siapa?
--
Batu,
22.00 WIB
Setelah kejadian horror
itu, gue bener-bener nempel sama racun kesayangan gue. Ogah banget gue kalalu
ngalamin lagi hal nyeremin tadi—dan berakibat dengan si racun yang terpaksa
ngabulin permintaan gue untuk tidur bareng.
“Lo mandi duluan deh, gue masih mau coba ngehubungin Tian.”
Gue cuma nurut aja, daripada nanti dia batal tidur bareng
sama gue.
Setelah gue pakai baju tidur gue, si racun udah menghilang
dari kamar gue—tapi gue bisa dengar samar-samar suaranya dia yang lagi telpon
Sebastian di luar kamar. Oh, gue juga lupa kalau kudu kabarin cowok satu itu.
Gue punya cowok—atau lebih tepatnya tunangan yang sebentar lagi jadi suami
gue—yang sifatnya itu mirip sama mantan gue. Dia suka khawatir kalau gue nggak
ngabarin dia dalam jangka waktu 3 jam—
“Diam. Jangan bergerak kalau kamu masih mau hidup.”
.. what?
“Sekarang, kamu balik
badan dan serahkan ponsel serta dompet—”
“Daki, Tian—O.M.G.”
Demi sempak doraemon Ben-ben, gue pengen ngakak liat
ekspresi si racun yang macem ikan kehabisan napas.
“Jangan bergerak!
Kalau kamu berani berteriak, saya akan melukai teman kamu ini!”
Goodness. Yang
bener aja. Tangan gemetar gini pakai ngancem si racun. Dia belum tau apa ya?
“Maaf, tapi lebih baik anda jatuhkan senjata anda dan segera
pergi. Saya bicara seperti ini demi kebaikan kamu sendiri.”
Nah, dengerin tuh kata si racun. Orang paling berpengalaman
di bidangnya—korban percobaan gue tuh.
Entah kenapa, tangan yang mencengkram erat lengan gue jadi
makin gemetar. Bahkan pisau lipat yang dia tempelin ke leher gue juga ikut
gemetar. Apa dia masih amatir ya?
“JANGAN BANYAK BICARA!
CEPAT TURUTI PERINTAH SAYA!”
Gue bosen. Apa gue sudahin aja ya?
“Daki, gue tau apa yang lo pikirin sekarang. Jadi jangan
sampai lo—”
Dan gue nggak menunggu si racun menyelesaikan apapun yang
pengen dia sampaikan ke gue.
KRAK!
--
RSU Kasa Husada Batu
22.30 WIB
“Sampai kapan lo mau ngeliat gue kayak gitu? Mata lo beneran
keluar gue gamau tanggung jawab ya.”
Entah kenapa, setelah gue ngomong gitu intensitas pelototan
dari kakak gue—beserta Letty dan Ivena—makin bertambah. Aurora cuma geleng-geleng
kepala, sedangkan Fiona menghela napas pelan.
Gue bingung, salah gue dimana
coba?
“Lo sadar nggak sih lo baru aja patahin lengan orang, bikin
babak belur wajahnya, dan bikin rusuknya ada yang salah posisi?”
Terus salah gue gitu? Kan gue cuma membela diri?
Belum sempat gue membalas si racun—a.k.a Ivena—sosok yang gue kenal dengan baik berjalan cepat ke arah
kami. Dan ternyata, para antek-anteknya juga ikut di belakang sosok itu. Gue cepat-cepat berdiri, dan sebelum gue mengeluarkan
kata-kata untuk membela diri gue, sosok itu udah meluk gue dengan erat
banget—sampai gue sempat sesak napas. Gue hanya bisa diam di pelukannya, sampai
dia ngelepasin gue dan beralih natap Ivena dengan tatapan yang serius banget.
“Gimana?”
Ivena cuma natap gue dengan tatapan menuduh. “Parah.”
Sosok itu—yang tidak lain dan tidak bukan adalah soon-to-be suami gue—natap gue dengan
tatapan kecewa. “Kamu udah janji kan nggak bakal gitu lagi? Kasihan dia, nggak
tahu apa-apa tapi masih kamu perlakukan seperti itu.”
“Kok jadi aku yang salah? Kan aku yang dirugikan disini!”
Secara serempak, semua mata tertuju ke arah gue—bahkan para
suster dan dokter yang jaga ikut menatap gue dengan tatapan tidak setuju.
“Sekarang gue tanya ya, apa lo terluka? Ada barang lo yang
ilang? Apa lo benar-benar dirugikan
dengan semua ini?”
“Ya iyalah! Emang menurut lo siapa lagi yang dirugikan kalau
bukan gue?”
“YA ORANG YANG LO / KAMU / ANDA HAJAR LAH!”
... what?
No comments:
Post a Comment