Wednesday, May 6, 2020

Air yang Jatuh ; Kopi

• edisi hujan part 02 •


Warna abu-abu serta tetesan air hujan menghiasi langit di siang hari ini. Beberapa orang yang tidak membawa payung berlari dengan cepat mencari tempat berteduh.

Aku mengalihkan pandanganku pada jam yang ternyata telah menunjukkan pukul 2 siang. Pantas saja perutku sudah protes minta diisi. Sebenarnya, hari ini aku bertemu dengan klien di café--seharusnya seperti itu. Tapi, semenit yang lalu aku baru saja mendapat kabar kalau klien kami harus pergi ke Jepang hari ini, dan disinilah aku, duduk menunggu hujan yang semakin deras ditemani secangkir kopi.

Sebenarnya aku bukan penggemar kopi, aku lebih memilih teh daripada kopi, apalagi teh yang dicampur dengan madu, bisa membuat perasaan menjadi tenang. Sayang, di café ini hanya tersedia kopi dan teh hijau--karena aku bukan penggemar teh hijau, kopi menjadi pilihan satu-satunya saat ini.

Teh yang dicampur susu juga enak, rasa manis yang bercampur dengan teh--

“Permisi.”

Suara bariton membuatku tersadar. Aku menoleh dan seketika tatapanku bertemu dengan--perut?

“Hei?”

Perlahan, aku menatap ke atas. Senyuman tertera pada wajah sang pemilik suara bariton, aku bisa melihat dengan jelas lesung di pipi kirinya. Namun, yang menjadi perhatianku saat ini adalah kupingnya yang bentuknya sedikit unik.

“Maaf, aku boleh duduk disini? Semua kursi sudah ditempati dan aku baru saja memesan kopi....”

Secara otomatis, aku menatap sekelilingku dan perkataannya memang benar. Saat ini café dipenuhi pengunjung yang aku yakin sedang berteduh dari hujan yang saat ini turun dengan deras. Aku kembali menatap pria yang memiliki tinggi badan yang sangat berbeda jauh dengan ku. Ia menatapku penuh harap, membuatku tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Senyuman pria itu berubah menjadi cengiran, dengan ekspresi bahagia tertera jelas pada wajahnya, ia segera menempati kursi kosong dihadapanku.

Masih tersenyum, ia melipat tangannya di atas meja kayu, “Suka kopi?”

Aku menggelengkan kepalaku, membuat kedua alisnya berkerut. “Itu kopi kan? Atau penglihatanku yang bermasalah?”

Aku tertawa pelan mendengar pertanyaannya, “Ini memang kopi, tidak ada yang salah dengan penglihatanmu.”

Ekspresi bingung semakin tertera jelas pada wajahnya. “Lalu.....?”

“Saya tidak suka kopi, tapi karena disini hanya tersedia teh hijau, kopi menjadi satu-satunya pilihan,” ucapku sembari mengedikkan bahu.

“Aahh... Aku mengerti, kau tidak suka teh?”

Aku kembali mengulas senyum, “Justru teh menjadi minuman favorit saya, tapi saya bukan penggemar teh hijau. Saya lebih suka teh yang dicampur madu atau susu.”

Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Cara bicaramu sopan sekali, aku merasa sedang berbicara dengan orang yang lebih tua--eh. Kau lebih muda dariku kan?”

“Saya berumur 22 tahun ini.”

Mata pria itu terbelalak lebar mendengar perkataanku. “22?! Astaga, aku merasa seperti om-om saat ini. Aku 26 tahun.”

Dia berumur 26 tahun?! Oke, sekarang aku yang terkejut mendengar umurnya. Itu sangat tidak cocok dengan wajahnya yang terlihat masih muda, aku pikir dia seumuran denganku.

“Hei? Halo? Kau masih disitu?”

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, telapak tangan besar kini melambai-lambai tepat di depan wajahku. “Ah, maaf. Saya sedikit terkejut mendengar....”

“Umurku? Haha, aku sering mendengar hal itu. Orang-orang yang tidak mengenalku selalu mengira aku berumur 20 tahun. Bahkan ada yang mengira aku masih SMA.”

Aku terkekeh mendengar perkataannya. “Saya rasa ucapan mereka memang benar.”

“Tidak mungkin--kau juga berpendapat begitu?! Ini menyebalkan, sudah jelas jika aku seorang pria dewasa, lihat saja tubuhku yang tinggi ini.”

“Tapi wajahmu terlihat seperti anak sekolah...”

“Tidak, tidak, tidak. Wajahku jelas-jelas memperlihatkan kalau aku ini pria dewasa.”

Aku tertawa mendengarnya yang menentang jika ia terlihat seperti anak SMA. Dari situ, obrolan kami terus berlanjut dan entah kenapa, aku merasa nyaman menghabiskan waktu bersama pria yang tidak aku kenal sama sekali. Aku tahu kalau aku seharusnya merasa curiga dan waspada akan sifat ramahnya, tapi firasatku mengatakan kalau ia benar-benar orang yang baik dan ramah pada siapapun.

Getaran yang berasal dari ponselku membuat perhatianku teralih. Salah satu rekan kerjaku memberitahu jika ia berada di luar café tempatku berada saat ini, ia menjemputku karena atasan kami memintanya untuk membawaku kembali ke kantor.

Aku segera berdiri, mengambil tas serta jas abu-abu yang tersampir dikursi. Pria dihadapanku juga ikut berdiri, ekspresi bingung tertera jelas pada wajahnya, membuatku segera mengulas senyum kecil.

“Maaf, saya harus pergi saat ini karena atasan saya meminta kehadiran saya di kantor.”

“Oh. Baiklah.” Sekilas, aku melihat sorot kecewa tertera pada matanya, tapi sepertinya itu hanya khayalanku saja.

“Terima kasih sudah menemani saya.”

Seulas senyum tertera pada wajah pria itu, “Justru aku yang harus berterima kasih karena memperbolehkanku duduk disini dan menemaniku mengobrol.”

Aku tertawa pelan. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku berjalan menuju pintu sembari melambai pada pria yang masih berdiri dan membalas lambaian tanganku. Aku melihat mulutnya yang terbuka dan bergerak selama beberapa saat, sebelum kembali mengulas senyum yang memperlihatkan lesung pipinya.

“Tadi dia bilang namanya.... Chanyeol?”


***


note :
- mungkin sudah ada yang menebak dari awal kalau pria di edisi hujan pt.01 itu Sehun? 😍

No comments:

Post a Comment